Sunday, January 29, 2012

Dahlan Iskan Si Pembuat Berita Itu Kini Jadi Target Pemburu Berita

Si Pembuat Berita Itu Kini Jadi Target Pemburu Berita (1)

Bagi rata-rata pemimpin koran di dalam jaringan Jawa Pos Grup, Pak Dahlan naik kereta atau ojek itu tidak mengandung keanehan samasekali. Jelas sangat jauh dari hasrat bikin sensasi, apalagi membangun citra. Itu hanya kebiasaan lama.


ilustrasi
Tahun 2011 diakhiri dengan gonjang-ganjing keseharian Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN) Dahlan Iskan. Terakhir adalah kehebohan, ketika dia naik kereta api (KA), sarana transportasi umum rakyat jelata, lalu naik ojek menuju Istana Bogor, untuk menghadiri rapat kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sebenarnya itu 'kejadian biasa'. Artinya, biasa dilakukan Pak Dahlan. Bahkan sudah terjadi untuk kesekian kali, sejak dilantik menjadi Meneg BUMN Oktober 2011. Namun hari itu rencananya naik KA rupanya tercium wartawan di Jakarta. Maka Pak Dahlan pun mereka kuntit sejak di Stasiun Manggarai Jakarta.

Para wartawan dari media cetak, online maupun stasiun televisi nasional mengikutinya sampai di Stasiun Bogor. Sebagai orang yang sangat akrab dengan dunia kewartawanan, tentu Pak Dahlan tak berusaha menghindar. Apalagi sebagai Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Pak Dahlan tahu para wartawan itu memburunya karena ada yang menarik untuk diberitakan.

Bagi para wartawan, yang menarik diberitakan tentulah ini: seorang menteri negara yang mengurusi BUMN beromset Rp 3.000 triliun, yang mau rapat di Istana Bogor, naik kereta api bersama rakyat jelata, berdiri pula, lalu melanjutkannya dengan naik ojek!

Maka kehebohan pun terjadi begitu berita itu disajikan di media online hari itu juga, lengkap dengan fotonya. Apalagi kemudian stasiun-stasiun televisi nasional juga menayangkannya.

Memang sangat banyak respon positifnya. Bisa dilihat dari komentar-komentar di jejaring sosial hari itu. Termasuk yang masuk ke telepon genggam, maupun yang disampaikan langsung kepada saya ketika bertemu kenalan. Seolah masyarakat Indonesia sedang sangat menantikan hadirnya pemimpin yang benar-benar merakyat.

Tapi ada juga yang merespon negatif, yang menganggap Pak Dahlan sedang tebar pesona untuk kepentingan suksesi kepala negara, dua tahun lagi.

Saya berada di dekat Pak Dahlan sejak 30 tahun silam, sampai sekarang. Kejadian naik kereta bersama rakyat jelata dari Jakarta ke Bogor maupun sebaliknya itu hal biasa saja. Saya sudah beberapa kali diajaknya, ketika mengunjungi kantor surat kabar dalam jaringan Jawa Pos Grup yang terbit di Bogor, yakni Radar Bogor.

Terakhir, tiga tahun lalu. Di kereta itu kami ya berjejalan bersama penumpang yang membawa ayam dagangan, yang membawa sayur-mayur, menyelip di antara pedagang rokok, dan pedagang kacang goreng yang berseliweran menjajakan dagangan saat kereta berjalan. "Dengan naik kereta ini kita lebih cepat sampai ke tujuan, kareta bebas dari kemacetan lalulintas Jakarta," kata Pak Dahlan ketika itu.

Bahwa sejak diamanahi sebagai Meneg BUMN menjadi lebih sering naik KA, saya yakin, ya karena ada yang hendak dipahaminya. Memang begitulah kebiasaan Pak Dahlan dengan pekerjaannya. Semuanya diselami dengan sangat dalam, untuk kemudian dicarikannya solusi-solusi terbaik.

Pak Dahlan tidak pernah setengah-setengah belajar tentang apapun. Terakhir, untuk memahami operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), Pak Dahlan tinggal berhari-hari di lokasi PLTU Embalut, di Tenggarong Seberang. Tengah malam terbangun dari tidurnya, Pak Dahlan "bertahajud" menemui para operator PLTU Embalut. Menanyakan detil operasionalnya. Berhari-hari ini dilakukannya, dan berkali-kali pula di kesempatan bulan lainnya.

Maka jika anda sekarang bertanya kepada pak Dahlan tentang proses kerja PLTU, saya yakin anda akan mendapatkan penjelasan yang tidak kalah dari penjelasan profesor ahli listrik.

Soal Pak Dahlan naik ojek, pun tidak ada yang aneh bagi para pimpinan surat kabar di jaringan Jawa Pos Grup. Sering kali saya ingatkan mereka, jika dapat kabar Pak Dahlan akan datang, jangan terlambat menjemputnya. Sebab bisa bikin Pak Dahlan naik ojek. Kejadian itu sudah pernah terjadi di Banjar Baru (Kalimantan Selatan), Palu (Sulawesi Tengah), Palangka Raya (Kalimantan Tengah), tiga wilayah yang langsung di bawah kendali saya.

Kantor pusat koran kami di Kalimantan Selatan berada di kota Banjar Baru, tidak jauh dari Bandar Udara Syamsudin Noor.

Ketika itu Pak dahlan mengabarkan rencana ke Banjar Baru. Karena saya sedang padat kegiatan di Kalimantan Timur, tidak bisa menemani. Maka saya sampaikan kepada pimpinan koran Radar Banjar untuk menjemputnya di bandara, dan jangan terlambat. Ternyata pimpinan koran Radar Banjar terlambat datang. Sampai penumpang terakhir pesawat itu meninggalkan ruang kedatangan, dia tidak bertemu dengan Pak Dahlan. Apa yang terjadi? Ternyata Pak Dahlan sudah berada di kantor Radar Banjar. Siapa yang mengantarnya ke situ? Tukang ojek.

Tidak ada kemarahan pada si penjemput. "Pesawat yang saya tumpangi tadi kelajuan, makanya saya datang lebih awal," kata Pak Dahlan sembari melepas senyum khasnya. Demikian dikisahkan pimpinan koran Radar Banjar kepada saya. Sejak peristiwa itu, sampai berminggu-minggu berikutnya, pimpinan Radar Banjar mengaku merasa terhukum secara batiniah, karena teledor terlambat menjemput Pak Dahlan.

Meski saya tegaskan bahwa Pak Dahlan bukan pemarah dan bukan pula pendendam, toh pimpinan Radar Banjar yang masih remaja ketika itu, merasa sangat bersalah.

Demikian pula ketika pertama-tama saya bertugas di Balikpapan. Ketika itu Bandara Sepinggan masih buruk, jaraknya dari kantor kami hanya tiga kilometer. Setiap mengunjungi kantor Kaltim Post, Pak Dahlan malah tidak pernah memberi kabar. Tiba-tiba muncul di ruang tamu kantor Kaltim Post. Ketika saya tanya "Siapa yang jemput?" – Pak Dahlan dengan enteng menjawab, "Naik ojek".

Begitupun saat di Makassar telat dijemput, Pak Dahlan jalan kaki menuju jalan raya lalu naik pete-pete (angkot) ke kantor Fajar. (Zainal Muttaqin / bersambung)

Source: http://situs-berita-terbaru.blogspot.com/2012/01/dahlan-iskan-si-pembuat-berita-itu-kini.html